Jumat, 31 Januari 2014

Selayang Pandang Kabupaten Pesisir Barat




SELAYANG PANDANG
KABUPATEN PESISIR BARAT PROPINSI LAMPUNG





Drs. Ali Imron, M.Hum
Januari – 2014

SELAYANG PANDANG
KABUPATEN PESISIR BARAT PROPINSI LAMPUNG
Drs. Ali Imron M.Hum




I. Selayang Sejarah Pemerintahan 

Pesisir Barat provinsi Lampung, pada zaman penjajahan merupakan salah satu daerah Afdeeling dibawah resident Bengkulu. Dari zaman dahulu pesisir barat Lampung sudah mempunyai pelabuhan yang ramai, banyak kapal-kapal besar dari berbagai daerah datang ke pelabuhan itu. Pelabuhan itu berada di muara Way Krui di pekon Pedada-Penggawa Lima. Krui disebut dalam Peta pelayaran nusantara pada 1411 M bahwa di Pulau Sumatera hanya terdapat beberapa kota pelabuhan antara lain: kota pelabuhan Pasee (NAD), Andripura (Indrapura, Riau), Manincabo (Padang, Sumbar), Lu-Shiangshe (Provinsi Bengkulu), Krui, Liamphon (Lamphong atau Lampung), Luzupara (Kemungkinan daerah Tulang Bawang atau Manggala), Lamby (Jambi), dan nama negeri Crïviyäyâ terletak di Musi Selebar. (dikutip dari: “Bengkulu dalam sejarah Maritim Indonesia”)

Kerajaan Penggawa Lima adalah cikal bakal berdirinya daerah Krui, mereka adalah kaum perintis yang pertama kali membuka penghidupan di Krui, walaupun pada saat ini masyarakat Krui sendiri sangat majemuk dan beragam berasal dari berbagai daerah.

Menurut cerita dari nenek moyang yang dituturkan secara turun temurun, penulis mencoba menyusun cerita-cerita yang masih tersebar didalam masyarakat dan merangkainya menjadi tulisan. Seperti kebanyakan penduduk di daerah Lampung lainnya, nenek moyang orang Krui sebagian besar juga datang dari Skala Brak, tetapi untuk keluarga kerajaan Penggawa Lima nenek moyang mereka berasal dari Banten.
Lampung pada masa lampau merupakan rumah kedua bagi kesultanan Banten, hal ini seperti disebutkan dalam Piagam Bojong, bahwa pada tahun 1500–1800 M, Lampung dikuasai oleh Kesultanan Banten.
Tersebutlah kisah LUMIA RALANG, seorang kesatria yang gagah perkasa, dari Pantau Kota Besi, sebenarnya nenek moyang Lumea Ralang berasal dari salah satu keluarga kerajaan Banten yaitu PANGERAN TANAH JAYA (masih keturunan dari Pangeran Jaya Lelana) yang mencari tanah untuk penghidupan yang lebih baik.

Mereka berlayar dari Banten dan terdampar di Manna, Bengkulu, setelah beberapa lama tinggal di Manna mereka meneruskan perjalanan dan sampai di Semende Makekau dan mereka juga menetap, membuka lahan pertanian dan perkebunan disana. Dari Semende Makekau mereka pindah lagi ke Rantau Nipis, Ranau dan mendirikan kerajaan kecil disana, tetapi karena kehidupan di Ranau belum berpihak kepada mereka, mereka pun pindah lagi ke Salipas, Sukau. Setelah sekian lama menetap di Salipas, Sukau, Raja Sukau meminta mereka agar tunduk dibawah kekuasaan Raja Sukau. Akhirnya mereka pindah lagi ke Pantau-Kota Besi, disini mereka hidup rukun, berdampingan dan berakulturasi dengan masyarakat Skala Brak.

Tidak lama kemudian Pantau Kota Besi pun akan dipengaruhi oleh Raja Belalau yang mendapat pengaruh kuat dari kerajaan Pagaruyung. Karena hal itu Lumea Ralang yang pada saat itu akan mewarisi kerajaan Ayah, berniat mencari tanah baru untuk memindahkan kerajaan kecilnya.

Suatu ketika, berangkatlah Lumia Ralang dan pasukannya mencari tanah baru, bersama dengan saudara-saudaranya yang masih ada hubungan darah dengan beberapa Raja dari kepaksian Paksi Pak Sekala Brak antara lain :
1. Raja Panglima dari Senangkal, Banding
2. Raja Nurkadim dan Raja Belang dari Way Tegaga
3. Raja Penyukang Alam dari Kageringan
4. Raja Nungkah Nungkeh Degom Pemasokrulah dari Teratas

Mereka berjalan masuk hutan dan menyusuri hulu sungai (way) Laay, sesampainya mereka di muara way Laay, mereka sangat terkejut mendengar suara gemuruh, setelah diperiksa ternyata mereka melihat danau yang sangat besar dengan airnya yang bergulung-gulung ke darat dan rasanya asin. Sepanjang hari mereka mengamati air laut itu.

Kemudian mereka berjalan ke selatan salah satu anak way krui yaitu way sakera dan mereka menemukan banyak sekali kera-kera. Mereka memanggil-manggil kera dengan teriakan kera ui.. kera ui, kera ui…, kera ui. Di tempat itulah mereka untuk sementara mendirikan gubuk-gubuk, dan mereka menyebutnya tempat kera ui, akhirnya sungai yang besar disitu mereka sebut dengan way Krui (dari sinilah kata krui berasal.)

Mereka memeriksa sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada kerajaan lain yang berkuasa, mereka berjalan kearah utara sampai pada Muara Tanda Batas Bintuhan, dan kearah selatan sampai Way Meluang, batas Semangka. Sepanjang daerah tersebut mereka tidak menemukan seorangpun apalagi kerajaan. Mereka juga berjalan ke timur masuk ke dalam hutan, didalam hutan mereka bertemu dengan suku tumi (suku kubu/suku anak dalam), dan suku tumi itu lari masuk ke Hutan. Ternyata pada malam harinya suku tumi itu datang merampas persediaan makan mereka, akhirnya terjadilah perang diantara keduanya. Sampai akhirnya suku tumi berhasil dikalahkan dan sebagian lari masuk ke dalam hutan dan tidak pernah kembali lagi.

Setelah menyusuri semua pejuru daerah baru tersebut mereka memutuskan bahwa sepanjang daerah pesisir dari Muara tanda batas Bintuhan sampai way Meluang, batas Semangka, itulah tanah bakal tempat anak cucu mereka bercocok tanam dan berkebun.

Tetapi tanah yang baik untuk tempat tinggal dan tempat mendirikan kerajaan adalah dari Way Mahenai sampai Way Hanuwan. Akhirnya mereka mendirikan kerajaan yang diberi nama PENGGAWA LIMA, karena didirikan oleh lima orang punggawa.
Hal ini juga seperti diceritakan dalam sejarah Sumatera berikut : William Marsden, The History of Sumatera, chapter 16 page 236 GOVERNMENT. The titles of government are pangeran (from the Javans), kariyer, and kiddimong or nebihi; the latter nearly answering to dupati among the Rejangs. The district of Kroi, near Mount Pugong, is governed by five   Masing –masing punggawa menempat setiap pejuru tanah penggawa yaitu :
1. Raja Penyukang Alam ditempatkan di Cukuh Mersa (Bandar)
2. Raja Panglima ditempatkan di Pekon Teba (Perpasan)
3. Raja Nurkadim ditempatkan di Pematang Gedung (Pekon Balak – Laay)
4. Raja Belang ditempatkan di Pematang Gedung (Pekon Laay).
5. Raja Nungkah Nungkeh Dego Pemasok Rulah ditempatkan di Pagar Dewa (Bah Binjai).

Pada masa  kekuasaan Inggris di Nusantara tahun 1811 – 1816, wilayah pesisir barat Lampung dengan pusat pemerintahan dan pusat aktifitas ekonominya di Krui dimasukkan dalam wilayah administrasi Regenschap (Karesidenan) Bengkulu. 
Pada saat terjadi penjanjian London tahun 1864 (Tractat London) yang mengakhiri perang di Eropa antara Inggris dan Belanda, maka dilangsungkanlah pertukaran daerah jajahan.  Belanda memperoleh Bengkulu dan berhak meluaskan jajahannnya ke arah utara dari pulau Sumatera, sedang Inggris diakui haknya oleh Belanda atas Malaka dan  Tumasik atau Singapura.

Tahun 1817 Pemerintah Kolonial Belanda meresmikan terbentuknya Karesidenan Lampung (Lampongsche Districten) di bawah seorang residen yang berkedudukan di Terbanggi sebelum kemudian pindah ke Telukbetung. Untuk melengkapi struktur pemerintahan, tahun 1873, Belanda membagi Lampung menjadi 6 onderafdeling (kawedanan). Karena kebutuhan manajemen kekuasaan yang semakin kompleks, tahun 1917 Belanda melengkapi struktur pemerintahan di Lampung menjadi 2 afdeling: Telukbetung dan Tulangbawang dengan 6 onderafdeling, yakni Telukbetung, Semangka, Katimbang, Tulangbawang, Seputih, dan Sekampung.

Karesidenan Bengkulu juga dibagi menjadi beberapa wilayah pemerintahan Afdelling, Onderafdelling, dan Distrik.  Salah satu Onderafdelling itu adalah Onderafdelling Krui, yang kala itu wilayahnya meliputi seluruh daerah Lampung Barat sekarang. Ibukota Onderafdelling Krui adalah Distrik Krui, yang berada di pesisir Lampung Barat. Tahun 1928 struktur kekuasaan lokal marga dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan, berkedudukan di bawah onderafdeling melalui ordonansi Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan.

Pada masa pemerintah pendudukan Jepang menguasai Bengkulu dan Lampung tahun 1942, daerah Onderafdelling Krui dikembalikan ke dalam Regenschap Lampung, karena secara etnik, adat-istiadat dan bahasa penduduk Onderafdelling Krui termasuk dalam rumpun etnik Lampung.  Peristiwa penggabungan dan penyerahan itu dilaksanakan di Liwa pada tahun 1944.  Syucokan (penguasa militer Jepang) Bengkulu datang ke Liwa untuk menyerahkan Onderafdelling Krui ke dalam Karesidenan Lampung yang diterima Syucokan (penguasa militer jepang) Lampung. Sejak saat itulah eksistensi Krui sebagai pusat politik pemerintahan dan perdagangan di pesisir barat Lampung berada di bawah administratif pemerintahan penguasa militer Jepang di Liwa, Lampung.

Peristiwa penggabungan tersebut diikuti dengan beberapa perubahan, yaitu bahwa  daerah onderafdeeling krui dinaekkan statusnya menjadi Ken (setingkat bunshu atau Kabupaten) dengan ibukota-nya di Liwa, yang berada di bawah pemerintahan penguasa militer Jepang di Lampung.  Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Lampung dibagi dalam 3 bunshu (kabupaten), yakni Telukbetung, Metro, dan Kotabumi. Setiap bunshu atau kabupaten terdiri dari beberapa kawedanan (gun) yang membawahi marga-marga. Kedudukan Ken Krui dalam pemerintahan sejajar dengan 3 bunshu yang sudah dibentuk sebelumnya oleh pemerintah militer Jepang di Lampung saat itu. Namun sayangnya kota Krui hanya menjadi pusat pemerintahan kawedanan (gun) Krui di bawah bunshu (kabupaten) Krui yang ber-ibukota di Liwa. Kota Kawedanan (gun) Krui hanya membawahi marga-marga yang ada wilayah di pesisir barat Lampung.
Pada tahun 1946, berdasarkan surat keputusan Gubernur Sumatera yang berkedudukan di Medan tertanggal 17 mei 1946 nomer 113, maka struktur pemerintahan pada tingkat Karesidenan hingga tingkat paling bawah di seluruh Pulau Sumatera adalah meneruskan  struktur pemerintahan yang sudah ada sebelumnya (Belanda dan Jepang). Sistem pemerintahan marga di kota Kawedanan Krui Tahun 1947 mengalami perubahan. Sistem pemerintahan marga dihapus karena dianggap warisan kolonial. Sebagai gantinya pada 1953 diberlakukan sistem pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di Sumatera Barat. Kota Kawedanan Krui dengan berpusat di kota kawedanan Krui dimasukkan ke dalam administratif pemerintahan Kabupaten Lampung Utara, di bawah Karesidenan Lampung. Wilayah pemerintahan kawedanan Krui meliputi negeri pesisir selatan, negeri pesisir utara, negeri balikbukit.
Sistem nagari ternyata tidak dapat berkembang di luar wilayah Minangkabau. Tahun 1970, sistem pemerintahan marga berbentuk nagari dipersiapkan sebagai Daerah Tingkat III, atau setingkat kecamatan. Belum sempat menjadi Daerah Tingkat III, sistem marga berbentuk nagari secara resmi dibubarkan tahun 1976.  Terbitnya Undang-undang Nomor 10 tahun 1975 tentang Pengaturan Pemerintahan Daerah menghapus sistem pemerintahan tradisional di seluruh Indonesia. Meskipun demikian, hingga kini struktur marga dan buay masih hidup dalam masyarakat sebagai sistem kebudayaan lokal masyarakat pesisir barat Lampung.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, agar tidak terjadi kemacetan administrasi pemerintahan, maka Negara Proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan instruksi bahwa seluruh kantor pemerintahan dan jawatan berikut pegawai-pegawai yg sudah ada sebelumnya supaya menaikkan bendera Merah Putih di tempat kedudukan masing-masing serta tetap menjalankan aktifitas sebagai kantor pemerintahan dan kantor jawatan-jawatan pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk. Pegawai-pegawai yang ada di dalamnya adalah menjadi pegawai negeri Pemerintah Indonesia.  

Pada tahun 1948 pemerintah pusat RI mengeluarkan Undang-Undang (UU) No.10/1948 yang membagi Pulau Sumatera ke dalam tiga pemerintahan Propinsi, yaitu: Propinsi Sumatera Utara, Propinsi Sumatera Tengah, dan Propinsi Sumatera Selatan. Karesidenan Lampung masuk dalam bagian Propinsi Sumatera Selatan dengan ibukota pemerintahan yang berkedudukan di Palembang. Gubernur pertama dari Propinsi Sumatera Selatan adalah  Dr. M. Isa.

Sesuai dengan instruksi pemerintah  RI pusat 5 September 1945, maka seluruh pemerintahan yang sudah ada dan sedang berjalan di daerah-daerah sejak sebelum proklamasi tetaplah dipertahankan sebagai pemerintahan yang sah di daerah-daerah tersebut atas nama pemerintah pusat Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Pemerintahan Karesidenan Lampung tetaplah diteruskan berjalan di bawah kepemimpinan Mr. Abbas.

Ada satu hal yang tidak dapat terlupakan oleh sejarah bahwa di Lampung kemudian terjadi peristiwa “pendaulatan” Mr. Abbas beserta beberapa kepala jawatan yang ada di Karesidenan Lampung dari jabatan dan tugas-tugasnya. Peristiwa ini terjadi pada 9 September 1946 yang dipelopori oleh apa yang menamakan diri sebagai Panitia Perbaikan Masyarakat (PPM). Mereka kemudian menetapkan secara sepihak Dr. Badriel Munir sebagai Residen Lampung yang baru dan Ismail (seorang Inspektur Sekolah Rakyat) Sebagai wakil Residen. Alasan pendulatan adalah bahwa tidak dapat mempercayakan kekuasaan pemerintahan kepada mantan pejabat dan pegawai pemerintahan kolonial asing. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan Instruksi Pemerintah tertanggal 5 September 1945. Namun dengan melihat perkembangan yang ada di lapangan, maka Dr. Badriel Munir diakui secara sah oleh Pemerintah Pusat sebagai Residen Lampung. Namun, restu keberadaan Ismail selaku Wakil Residen Lampung tidak diberikan oleh pemerintah pusat, dan dikirimlah seorang dari Pemerintah Pusat Jakarta, yaitu Raden Rukadi sebagai Wakil Residen Lampung. Tanggal 29 November 1947 Dr. Badriel Munir mengundurkan diri dari jabatannya selaku Residen Lampung. Selanjutnya Raden Rukadi diangkat mejadi Residen Lampung, dan selaku wakilnya diangkatlah R.A. Basjid sebagai Wakil Residen.

19 Desember 1948 terjadi Agresi Militer Belanda ke II, dan seluruh kota-kota besar di Karesidenan Lampung berhasil dikuasai Belanda. Berdasarkan keputusan DPR Karesidenan Lampung, bila Telukbetung sebagai ibukota Karesidenan Lampung diserang dan diduduki Belanda maka Residen Lampung harus menyingkir ke daerah Pringsewu, dan Wakil Residen harus tetap tinggal di Tanjungkarang untuk menjalankan pemerintahan sementara. Namun yang terjadi justru sebaliknya, R.A Basjid selaku Wakil Residen justru pergi meninggalkan Tanjungkarang menyingkir ke Menggala melalui daerah Kasui. Akibatnya Raden Rukadi selaku Residen Lampung ditangkap oleh Belanda dan dinyatakan oleh Belanda bahwa Lampung secara penuh adalah daerah milik Belanda.

Oleh pimpinan partai-partai dan pimpinan militer Republik Indonesia yang ada di Lampung bersama anggota DPR Karesidenan Lampung ditunjuk dan diangkatlah Mr. Gele Harun sebagai Residen Lampung yang kedudukan pemerintahannya berpindah-pindah dari Talang Padang – Way Tenong – Bukit Kemuning. Setelah perjanjian Roem Royen disetujui dan Tanjungkarang harus dikosongkan oleh Belanda, maka pemerintahan Karesidenan Lampung di Tanjungkarang dipulihkan dengan Mr. Gele Harus sebagai Residennya.

Pada masa agresi Belanda kedua, daerah Kawedanan Kota Krui berikut daerah-daerah wilayah administratif-nya di pesisir barat Lampung tidak sempat diduduki Belanda, meskipun daerah-daerah lain di Karesidenan Lampung telah jatuh ke tangan Belanda. Berdasarkan pertimbangan letak strategisnya yang dekat dengan Palembang, maka daerah pesisir barat Lampung oleh pemerintah Republik Indonesia dijadikan daerah basis perjuangan militer dan basis pemerintahan darurat militer Republik Indonesia untuk Karesidenan Sumatera Selatan, ketika Palembang sebagai pusat pemerintahan sipil Karesidenan Sumatera Selatan jatuh ke tangan Belanda. Artinya, secara administratif kota Kawedanan Krui dan daerah-daerah pesisir barat Lampung saat kondisi darurat itu ditempatkan kedudukannya berada di bawah pemerintah darurat militer Sumatera Selatan.

Pasca penyerahan kedaulatan seluruh wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 17 Agustus 1949,  daerah pesisir barat Lampung kembali dimasukkan ke dalam administrasi Kabupaten Lampung Barat sebagai bagian dari Karesidenan Lampung. Pada tanggal 10 Februari 1950 pemerintah darurat Sumatera Selatan menyerahkan kedaulatan pemerintahannya kepada Republik Indonesia di Yogyakarta serta menyatakan setia pada Republik Indonesia. Pada tingkat nasional, tanggal 17 Agustus 1950 DPR RIS, Senat RIS, Presiden RIS (Ir. Soekarno), dan Presiden Republik Indonesia (Mr. Asaat) menandatangani Piagam Persetujuan pembentukan NKRI yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah bekas RIS. Pada tanggal itu pula Mr. Assaat menyerahkan kembali jabatan Presiden RI kepada Ir. Soekarno.

Permasalahan muncul di wilayah pesisir barat Lampung, karena letaknya yang berdekatan dengan kota Palembang dan Karesidenan Bengkulu, maka untuk menetapkan status keberadaan administratif pemerintahannya dilakukanlah dengan cara plebisit atau pemungutan suara. Pada tanggal 1 Januari 1951 dilaksanakanlah plebisit di daerah pesisir barat Lampung.  Plebisit diikuti sebanyak 50 kepala kampung.  Hasil dari pelaksanaan plebisit tersebut ternyata 46 kampung yang memilih bergabung dengan Karesidenan Lampung, 2 kampung memilih bergabung dengan Karesidenan Bengkulu dan 2 kampung lain memilih bergabung ke Palembang.  Sehingga sejak tanggal 1 Januari 1951, dalam administrasi pemerintahan, daerah pesisir barat Lampung secara resmi masuk kembali kedalam wilayah Kabupaten Lampung Utara, Karesidenan Lampung karena secara kultural memang penduduk Kabupaten Lampung Barat berbahasa dan berbudaya Lampung.

Pada saat Lampung memperoleh statusnya sebagai daerah Propinsi pada tanggal 13 Februari 1964 yang didasarkan pada keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 3/ 1964 tentang pembentukan daerah Swatantra Tingkat I Lampung, maka secara otomatis daerah pesisir barat Lampung kembali masuk menjadi bagian Kabupaten Lampung Utara dari Propinsi yang baru, yaitu Propinsi Lampung. Naiknya status Lampung dari sebuah Karesidenan menjadi sebuah Propinsi merupakan modal yang besar untuk berkesempatan lebih mengoptimalkan pengelolaan seluruh potensi sumber daya di Lampung untuk kesejahteraan masyarakat di Lampung.

Propinsi Lampung pada masa awal terbentuk dengan terdapat tiga Kabupaten yang sudah ada sebelumnya (masa Karesidenan). Karena begitu luasnya wilayah yang harus di kelola dan dibangun oleh Propinsi Lampung, maka pada masyarakat pesisir barat Lampung muncul wacana baru dengan tujuan untuk mendukung dan menopang pemerintahan Propinsi Lampung dalam membangun daerahnya agar lebih optimal, yaitu jalan wacana usulan pembentukan kabupaten baru untuk wilayah Lampung bagian pesisir barat. Hal tersebut sangat logis karena letak daerah tersebut sangat jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Lampung Utara dan prasarana maupun sarana transportasi untuk ukuran saat itu sangat menyulitkan dalam segala hal bila ada kaitannya dengan urusan-urusan administratif dengan pihak Kabupaten. Pada tahun 1967 di kota Kawedanan krui dilaksanakan musyawarah bersama antara Keluarga Pelajar dan Mahasiswa (KKM) asal pesisir barat Lampung dan tokoh-tokoh masyarakat adat pesisir barat Lampung, yang menghasilkan keputusan terbentuknya Pantia Nasional dan Panitia Eksekutif untuk pembentukan kabupaten baru dengan nama Kabupaten Lampung Barat (menyesuaikan sebutan atau nama daerah kabupaten lain, yaitu lampung Utara, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan, yang sudah ada yang memakai letak geografisnya di Lampung untuk nama kabupatennya) dengan ibukota di Krui. 

Hasil dari musyawarah bersama tersebut mendapat tanggapan positif dari pemerintah Kabupaten Lampung Utara pada saat itu. Aspirasi masyarakat pesisir barat Lampung tersebut disampaikan oleh pihak Kabupaten Lampung Utara kepada pemerintah Propinsi Lampung dalam sumbang saran resmi kepada untuk Propinsi Lampung yang dituangkan dalam Surat Bupati Lampung dengan nomor PU.000/1232/BANK.LU/1978 tertanggal 27 September 1978. Aspirasi masyarakat pesisir barat Lampung yang tertuang dalam surat Bupati Lampung Utara mendapat respon dan dukungan positif pihak Propinsi dengan cara diteruskannya aspirasi masyarakat pesisir barat Lampung ke Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Pada tahun 1991 terbitlah Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dengan nomor 17/1991 yang berisi petunjuk pelaksanaan Undang-Undang nomor 6/1991 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat. Pada tanggal 24 September 1991 Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota kabupatennya di kota Liwa diresmikan berdiri oleh Menteri Dalam Negeri, sekaligus melantik Pejabat Bupati Lampung Barat.

Pada tahun 1997 hingga 1998 terjadi gerakan reformasi di Indonesia yang intinya menginginkan terwujudnya masyarakat yang berkeadilan yang terbebas dari unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme, atau dibiasa disingkat (KKN). Salah satu produk dari gerakan reformasi ini adalah dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah No.22 tahun 1999 oleh pemerintah Republik Indonesia, yang intinya memberikan kembali kewenangan dan kesempatan kepada daerah-daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sehingga diharapkan akan lebih mempercepat tercapainya kesejahteraan yang berkeadilan di daerah-daerah.

Undang-Undang otonomi daerah segera saja mendapat respon yang antusias oleh masyarakat di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Tak ketinggalan masyarakat di pesisir barat Lampung juga menyuarakan keinginannya untuk adanya tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang otonomi daerah di Propinsi Lampung dalam wujud nyata yaitu adanya pemekaran daerah pesisir barat Lampung sebagai sebuah kabupaten yang berdiri sendiri dan punya kewenangan penuh untuk mengatur dan membangun daerah-nya.

Pada tanggal 20 Februari 2005, oleh para tokoh masyarakat pesisir barat Lampung dibentuk Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung. Panitia persiapan ini meliputi tiga kelompok wilayah kerja kepantiaan yaitu: wilayah kerja panitia persiapan di tingkat kabupaten induk (Kabupaten Lampung Barat) yang berpusat kedudukan di Krui, wilayah kerja panitia persiapan di tingkat Propinsi Lampung yang berkedudukan di Bandar Lampung, dan wilayah kerja panitia persiapan di tingkat pusat yang berkedudukan di Jakarta.

Pantitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung yang ada pada seluruh wilayah kerja-nya, segera secara resmi mensosialisasikan diri tentang keberadaan, program serta aktifitas kerja, dan tujuannya kepada masyarakat Lampung dan secara nasional. Tanggapan dalam bentuk respon positif mulai berdatangan sebagai bentuk dukungan. Liputan-liputan dan tanggapan positif oleh pers non elektronik (koran) maupun non elektronik (radio dan televisi) lokal maupun nasional mengenai keberadaan dan aktifitas Pantitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung semakin gencar berdatangan. Seminar-seminar dan kajian-kajian tentang wacana pemekaran wilayah pesisir barat Lampung menjadi kabupaten tersendiri yang terpisah dari kabupaten induk-nya (Kabupaten Lampung Barat) cukup banyak dilakukan, baik oleh kalangan akademisi maupun masyarakat umum.

Berbekal respon positif dan dukungan dari berbagai pihak, Pantitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung segera bekerja melengkapi persyaratan yang diperlukan, yaitu (1) kelengkapan persyaratan administratif, teknis, dan fisik, sebagaimana diminta dalam Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, (2)  Kelengkapan persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah, sebagaimana diminta dalam Peraturan Pemerintah No.129/2000.

Bundel berkas Usul Pemekaran Wilayah dan Persyaratan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung yang telah berhasil disusun/dipenuhi oleh Pantitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung pada tahun 2005 disetujui dalam sidang DPRD Kabupaten Lampung Barat yang dipimpin oleh ketua DPRD Lampung Barat (Dadang Sampurna) dan kemudian setelah itu mendapat persetujuan oleh Bupati Lampung Barat (Erwin Nizar MT dan Bupati setelahnya yaitu Muchlis Basri).

Pada sidang DPRD Propinsi Lampung yang dipimpin oleh Ketua Dewan (Indra Karyadi, S.H), Bundel berkas Usul Pemekaran Wilayah dan Persyaratan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung juga mendapat respon positif dan disetujui. Setelah mendapat persetujuan dari DPRD Propinsi, Gubernur Propinsi Lampung (Syahruddin ZP) juga memberikan respon positif dan menyetuji-nya untuk diusulkan kepada pemerintah Pusat Republik Indonesia melalui kementrian Dalam Negeri.

Bundel berkas Usul Pemekaran Wilayah dan Persyaratan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung oleh kementrian Dalam Negeri segera diagendakan untuk dibawa ke dalam sidang DPR Pusat. Pada sidang DPR Pusat yang dipimpin oleh H.R. Agung Laksono, mendapat respon positif dan disetujui untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat. Pada tanggal 22 April 2013, Presiden Republik Indonesia (Soesilo Bambang Yudhoyono) atas nama pemerintah pusat Republik Indonesia menyetujui pengesahan daerah pesisir barat barat Lampung memperoleh statusnya sebagai kabupaten baru hasil pemekaran dari kabupaten induk-nya (kabupaten Lampung Barat). Oleh Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia ditunjuk dan diangkat bapak Herlani, SE sebagai Pejabat Sementara (PJS) Bupati Lampung Barat hingga nantinya dilaksanakan pemilu di daerah Kabupaten Pesisir Barat, Propinsi Lampung.

Pesisir Barat Lampung saat ini telah menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Pesisir Barat dengan ibukota kabupatennya adalah kota Krui. tepatnya sejak disahkannya Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Pesisir Barat, oleh pemerintah pusat pada Bulan April 2013 lalu. Ada sebelas kecamatan diwilayah Kabupaten Pesisir Barat, yaitu  Kecamatan Bengkunat Belimbing, Bengkunat, Ngambur, Pesisir Selatan, Krui Selatan, Pesisir Tengah, Way Krui, Karya Penggawa, Pesisir Utara, Lemong, dan Pulau Pisang. Ibukota Kabupaten Pesisir Barat sesuai dengan UU no 22 tahun 2012 tentang Pembentukan DOB Pesisir Barat terletak di krui yang tertulis pada pasal 7 dan penjelasannya, yang dimaksud krui yaitu wilayah Kecamatan Pesisir Tengah.

Secara kependudukan dapat dipisahkan berdasar wilayah di pesisir Tengah, karya penggawa, Krui selatan, dan Way Krui merupakan pusat kota pelabuhan tersebut  (dalam sejarah krui),  sedang kecamatan Lemong dan Pesisir Utara merupakan wilayah susulan terbuka seiring dengan dibukanya transportasi darat, pembangunan jalan dari krui menuju Provinsi Bengkulu sekitar tahun 1990. demikian juga dengan ngambur, bengkunat dan bengkunat belimbing merupakan wilayah baru terbuka setelah akses jalan terhubung antara Krui-Kota agung Tanggamus sekitar tahun 2000-an.

Sektor Pariwisata merupakan potensi andalan Kabupaten Pesisir Barat, setiap tahun ratusan bahkan  ribuan turis datang ke krui, untuk berlibur, berselancar dan menikmati keindahan pantainya. Selain pantai krui memiliki dua pulau eksotis yaitu pulau pisang dan pulau Betuah, yang alami dan keindahannya tidak kalah dengan pulau-pulau destinasi wisata di dunia, Hanya memang potensi itu belum tereksplorasi.

Akses perhubungan dari dan menuju Krui, bisa dilakukan melalui darat, laut, dan Udara. Di Krui terdapat Bandara Serai, Pelabuhan Kuala Stabas, dan Jalan nasional lintas Barat yang melewati seluruh wilayah krui yang berada digaris pantai sepanjang 200 Kilometer lebih. Potensi hasil bumi dan hutan, juga bagus dan memiliki nilai jual tinggi, seperti damar mata kucing yang merupakan getah damar kualitas terbaik didunia dan telah diakui internasional yang berasal dari krui. Belum lagi hasil bumi lainnya seperti cengkeh, kopi, lada, kakao.  krui juga merupakan wilayah pertanian khususnya di Kecamatan Pesisisr Selatan yang memiliki ribuan hektar sawah dengan sistem pengairan irigasi.
Kabupaten Pesisir Barat merupakan sebuah kabupaten termuda di Provinsi Lampung. Pesisir Barat merupakan hasil pemekaran Kabupaten Lampung Barat, yang disahkan pada tanggal 25 Oktober 2012.
Kabupaten Pesisir Barat terdiri dari 11 kecamatan, yang meliputi:
  1. Bengkunat Belimbing
  2. Bengkunat
  3. Ngambur
  4. Pesisir Selatan
  5. Krui Selatan
  6. Pesisir Tengah
  7. Way Krui
  8. Karya Penggawa
  9. Pesisir Utara
  10. Lemong
  11. Pulau Pisang
II. Selayang Daerah dan Masyarakat
Wilayah pesisir barat Lampung terbagi dalam dua tipe geografis, yaitu: tipe wilayah  geografis dataran tinggi dan tipe wilayah geografis pantai (pesisir). Pada masyarakat daerah dataran tinggi, sektor ekonomi didominasi oleh aktivitas perkebunan, terutama kopi dan lada. Pada masyarakat daerah pesisiran aktivitas ekonominya lebih beragam. 

Bentang alam pesisir Lampung Barat mencakup tiga karakter ekologis, yaitu: (1) daerah perkebunan dan pertambangan; (2) daerah persawahan; (3) dan daerah pantai yang meliputi: sektor perikanan, sarang burung walet, pertambangan, serta pariwisata. Adanya karakter yang demikian tersebut, menjadikan pesisir barat Lampung sebagai daerah potensial akan sumber daya alam yang dapat memberikan kemakmuran bagi penduduk yang tinggal di dalamnya.

Aktivitas ekonomi masyarakat di pesisir barat Lampung, tidak terlepas dari  karakteristik daerahnya yang selain luas dan subur tanahnya, secara geografis terletak pada posisi yang strategis. Daerah pesisir barat Lampung merupakan daerah yang terletak di ujung selatan bagian barat dari Pulau Sumatera, dan mempunyai pantai yang landai sebagai tempat persinggahan rute pelayaran perdagangan beranting dari Malaka-Aceh-Minangkabau-Lampung-Jawa. Karakter ekonomi masyarakat pesisir barat Lampung, dengan demikian terbentuk dalam kontek sebagai masyarakat ekonomi di daerah lalu lintas perdagangan yang cenderung terbuka dan mudah dijangkau oleh konsumen dunia luar (masyarakat luar Lampung).  

Luas daerah, kesuburan tanah, letak strategis, dan karakter masyarakatnya yang terbuka, membuat daerah pesisir barat Lampung menarik perhatian bagi orang-orang dari luar. Perjalanan sejarah mencatat bahwa oleh karena karakteristik yang dipunyainya membuat daerah yang oleh pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai Onderafdelling Krui pernah menjadi ajang perebutan kekuatan-kekuatan dari luar untuk dapat menanamkan pengaruhnya. Tercatat dalam sejarah Indonesia bahwa pesisir barat Lampung pernah menjadi ajang perebutan antar kekuatan, seperti: Kasultanan Demak dan Portugis; Kasultanan Palembang dan Kasultanan Banten;  Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris; Kerajaan Belanda dan Jepang; Propinsi Lampung dengan Propinsi Bengkulu, dan Propinsi Lampung dengan Propinsi Sumatera Selatan.

Daerah pesisir barat Lampung dalam kedudukannya sebagai daerah jalur pelayaran perdagangan yang menghubungkan Sumatera dan Jawa, serta ditopang dengan kondisi tanah yang subur, telah membentuk penduduknya menjadi sebuah masyarakat interpreneur yang cukup maju. Masyarakat di pesisir barat Lampung, mempunyai potensi kemandirian yang tinggi. 

Pertanian tanaman bernilai ekonomis seperti: lada, cengkeh, damar, kopi, dan rotan, sangat berkembang di pesisir barat Lampung. Potensi ekonomi perikanan, tambang, dan sarang burung walet, juga merupakan aspek dominan di pesisir barat Lampung. Melimpahnya komiditi tanaman ekonomis, serta letak geografis yang strategis telah menjadikan wilayah pesisir barat Lampung sebagai daerah asal, persinggahan, dan tujuan dari ekonomi perdagangan. Segala potensi ekonomi tersebut secara historis telah  menjadikan terutama kota Krui yang terletak di pesisir barat Lampung punya sejarah gemilang sebagai bandar (pasar) jual beli (perdagangan) hasil tanaman-tanaman bernilai ekonomis yang ramai. Pemerintah kolonial Inggris (EIC) di Lampung Barat pernah membangun pelabuhan dagang dan sekaligus sebagai pangkalan militer di kota Krui, yaitu Port Krui. Pemanfaatan Port Krui dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda maupun oleh pemerintah pendudukan Jepang. 

III. Selayang Budaya
Sebagaimana etnis Lampung pada umumnya, masyarakat pesisir barat Lampung menganut sistem kekerabatan patrilinea-primogenitur, artinya bahwa seluruh harta pusaka tanah, rumah, pekarangan, serta seluruh harta kekayaan sebuah keluarga hanya akan diwariskan pada anak laki-laki tertua. Dengan demikian harta pusaka tanah tidak pecah terbagi-bagi. Anak laki-laki lainnya tidak mendapat warisan harta pusaka, dan apabila mereka tetap tinggal di desa sebagai petani, mereka hanya sebagai petani penggarap tanah pusaka yang dikuasai oleh kakak laki-laki tertua mereka.  Meskipun demikian, realitas di lapangan lebih banyak menunjukkan bahwa mereka lebih suka pergi merantau meninggalkan desanya untuk mencari takdir kehidupannya sendiri.

Inti penduduk desa, dari sebuah kolektif  masyarakat pesisir barat Lampung adalah orang-orang lelaki anak tertua sebagai penguasa harta pusaka keluarga yang tidak terpecah-pecah. Mereka itu tetap tinggal di desa dan menyebabkan bahwa di setiap desa Saibatin tersebut terdapat suatu golongan warga desa inti yang mantap, yang mempunyai rasa tanggung jawab yang maksimal terhadap seluruh warisan harta pusaka keluarga (terutama tanah), dan yang merasakan suatu loyalitet yang besar terhadap komunitinya. Kecuali mantap karena suatu mobilitet yang minimal dari golongan inti penduduk desa, yang disebabkan oleh karena unsur dasar dalam struktur sosialnya, jumlah penduduk desa juga mantap sepanjang masa oleh karena sistem sosial yang berlaku.
   
Bagi masyarakat pesisir barat Lampung, sistem kekerabatan patrilenial-primogenitur sebagaimana yang mereka anut tidak hanya merupakan center  dari adat pewarisan dan pola menetap saja, melainkan juga merupakan hakikat kehidupan mereka itu sendiri. Perekonomian, struktur sosial, sistem perkawinan, ritual, hukum adat, masyarakat pesisir barat Lampung pada dasarnya selalu berpusat pada sistem kekerabatan mereka. Dengan demikian, pembicaraan megenai sistem kekerabatan masyarakat pesisir barat Lampung dapatlah mencakup segala aspek kehidupan mereka. Salah satunya, yaitu berkenaan dengan aktivitas ekonomi pertanian masyarakat pesisir barat Lampung.

Berpijak dari sistem kekerabatan masyarakat pesisir barat Lampung, maka secara teoritis jumlah penduduk inti desa sebagai petani pemilik tanah (lahan pertanian) tidaklah bertambah, demikian juga warisan pusaka keluarga dalam bentuk tanah (untuk pertanian) tidaklah mungkin mengalami perluasan areal. Pertambahan dalam hal jumlah (bukan luasan) berkenaan dengan tanah milik memang dimungkinkan dengan jalan pembelian tanah dari klen lain, namun yang demikian tersebut sangat jarang ditemui, mengingat bentuk penjualan warisan tanah pusaka sangatlah jarang terjadi oleh sebab adanya rasa tanggung jawab atas “nilai” warisan leluhur bagi sebuah klen yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat pesisir barat Lampung.   

Aktivitas pertanian asli masyarakat pesisir barat Lampung adalah berkebun (tanaman ekonomis seperti:  lada, kopi, cengkeh, damar) dan berladang (tanaman pangan). Pertanian kebun mereka bersifat komersial (untuk dijual dengan keuntungan), sedangkan pertanian ladang pada  masyarakat pesisir barat Lampung sifatnya adalah subsisten atau hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan sendiri (bukan untuk dijual). Pertanian kebun dilakukan pada lahan-lahan pertanian yang diwarisi dari para primus interparis (cikal-bakal) terdahulu di setiap pekon/tiyuh (kampung/desa) yang kuantitas luasannya tidak pernah bertambah dari dulu hingga sekarang, sedangkan perladangan pangan dilakukan secara berpindah gilir pada lahan-lahan hutan yang terletak tidak jauh dari aliran sungai.

Kebun-kebun  biasanya letaknya dekat dengan areal hutan, sebab memang pada jaman para pioner pembuka sebuah pekon/tiyuh, jauh sebelum republik ini ada, dan bahkan jauh sebelum kedatangan kolonialisme Eropa di Lampung, kebun-kebun tersebut dahulunya adalah bagian lahan hutan yang subur yang dipilih dan dianggap cocok untuk tanaman-tanaman bernilai ekonomis oleh mereka. Sebenarnya, bahwa kampung-kampung tua yang ada itupun dibentuk oleh para pioner masyarakat pesisir barat Lampung dengan jalan membuka lahan-lahan hutan yang ada.

Pada pertanian pangan, sistem perladangan dilakukan secara rotasi atau pindah gilir. Perladangan tanaman pangan yang dilakukan secara berpindah-pindah dari lokasi lahan yang satu ke lahan yang lain  merupakan salah satu aspek dari strategi adaptasi ekologis (lingkungan) dalam pertanian pangan pada masyarakat pesisir barat Lampung. Kearifan  ekologis dalam sistem perladangan ini justru terletak pada caranya yang berpindah-pindah lahan, tujuannya adalah  mengistirahatkan lahan tanah-hutan ladang yang telah dibuka atau diolah beberapa kali dalam siklus ladang, kemudian ditinggalkan dalam rentang waktu beberapa tahun sebelum dipergunakan lagi sebagai lahan perladangan20.

Perladangan pada masyarakat pesisir barat Lampung hanya dilakukan pada lahan-lahan yang tidak jauh dari sungai atau tidak masuk ke dalam hutan, juga kuantitas lahan yang dipergunakan tidaklah besar-besaran. Perladangan tanaman pangan pada masyarakat pesisir barat Lampung yang sifatnya subsisten tentunya tidaklah memerlukan areal yang luas, sebab jumlah kepala yang harus dihidupi cenderung stabil (tetap), yaitu penduduk inti desa dan keluarganya. Sistem perladangan  masyarakat pesisir barat Lampung terdiri dari aktivitas sebagai berikut: pemilihan lahan, penebasan, pembakaran, penanaman padi, ngerepong. Tiga aktivitas yang pertama merupakan kegiatan pembersihan vegetasi-vegetasi lama, sedangkan dua aktivitas terakhir merupakan kegiatan kontrol terhadap vegetasi-vegetasi baru. Aktivitas-aktivitas tersebut tampak sebagaimana sebuah peniruan terhadap sistem suksesi pertumbuhan kembali secara alamiah, yaitu dengan adanya teknis pemutus-api (firebreaks)  sebagaimana yang dilihat pada setting lingkungan alam di sekitar mereka.

Pemilihan lokasi untuk lahan adalah cenderung pada areal yang tidak terlalu jauh dari aliran sungai, dan yang letaknya lebih rendah dari sungai tersebut22. Biasanya dipilih areal yang cukup terbuka sehingga cukup sinar matahari dan sedapat mungkin menghindari lokasi yang banyak ditumbuhi tanaman keras untuk memudahkan pengerjaan pengolahannya. Oleh sebab itu  biasanya pula bentuk lahan-lahan perladangan ulun Saibatin tidak beraturan, tidak sebagaimana sawah-sawah di Jawa. Pondok sederhana didirikan di dekat ladang dari kayu-kayu bekas tebangan beberapa tanaman keras yang ada di areal calon ladang, untuk tempat tinggal sementara selama berlangsungnya proses penggarapan lahan hingga proses pemanenan selesai. Hasil panen yang diperoleh dibawa ke pekon/tiyuh tempat domisili tetap mereka.

IV. Selayang Persepsi Tentang Hutan
Pandangan atau pemahaman masyarakat pesisir barat Lampung mengenai hutan dapat diketahui dari kategori fungsi hutan bagi mereka. Mereka mempunyai anggapan bahwa hutan dan lahan harus dilihat kegunaannya secara bersamaan, artinya bahwa lahan tidak mempunyai makna apabila tidak dilihat sekaligus dengan hutannya. Bagi masyarakat pesisir barat Lampung, makna antara hutan dan lahan tidak terpisahkan. Dengan demikian, dalam hal pemanfaatan lahan-hutan harus dilihat feadahnya secara bersama-sama.

Pada konteks kehidupan ekonomi masyarakat pesisir barat Lampung,  hutan mempunyai fungsi sebagai berikut:
  1. Hutan sebagai lahan subsisten, yaitu hutan untuk lokasi ladang padi dan pemenuhan kebutuhan kayu untuk tempat tinggal sendiri. masyarakat pesisir barat Lampung pada dasarnya tidak  menjadikan bahan pangan (beras) dan bahan bangunan (kayu) sebagai komoditi untuk diperjualbelikan.
  2. Hutan sebagai lahan ekonomis klen, yaitu hutan untuk lahan perkebunan (kopi, cengkeh, lada, damar dll). Hasil pemanfaatan hutan kategori inilah yang diperdagangkan.
  3. Hutan sebagai lahan ekonomis umum (lintas klen), yaitu hutan untuk diambil hasil non kayu (damar, karet, rotan, madu, dll) untuk diperdagangkan. 
  4. Hutan repong yaitu hutan buah-buahan (bekas lahan-lahan perladangan). Hasil buah-buahan yang diambil dapat dimanfaatkan untuk dijual (bersifat ekonomis) maupun untuk dikonsumsi sendiri (bersifat subsisten).

Selain berdasarkan fungsi, pemaknaan kesatuan antara hutan dan lahan dalam konteks  kehidupan ekonomi masyarakat pesisir barat Lampung, di dasarkan juga pada hak kepemilikan dan hak pemanfaatan hutan-lahan. 
Pada masyarakat pesisir barat Lampung, hak kepemilikan dan hak pakai hutan adalah sebagai berikut.
  1. Hutan sebagai lahan subsisten, kepemilikannya umum dan hak pakainya juga umum. Bersifat lintas klen.
  2. Hutan sebagai lahan ekonomis klen, kepemilikannya klen dan hak pakainya klen. Bersifat klen oriented. Biasanya merupakan pusaka warisan para primus interparis pembuka daerah dan pendiri klen. Kuantitas luasannya tidak pernah bertambah dari generasi ke generasi.
3. Hutan sebagai lahan ekonomis umum (lintas klen), yaitu hutan untuk diambil  hasil non kayu-nya (damar, karet, rotan, madu, dll). 
4. Hutan repong, kepemilikannya umum dan hak  pengambilan hasilnya juga bersifat umum (lintas klen), bahkan orang asing yang kebetulan sedang berada di hutan tersebut juga diperbolehkan mengambil buah-buahan yang ada.

Konsep hutan yang identik dengan habitat pepohonan seharusnya tetaplah terjaga di dalam pemaknaan antara hutan dan lahan pada  masyarakat pesisir barat Lampung yang tinggal di sekitarnya. Pemanfaatan hutan-lahan yang tidak sesuai dengan kedua kategori fungsional tersebut di atas, dahulu dianggap merupakan pelanggaran adat. Sanksi adat akan dijatuhkan pada si pelaku. Pada masyarakat pesisir barat Lampung, perilaku pemanfaatan yang menyimpang dianggap merusak hutan dan dianggap pula dapat merusak kehidupan budaya dan ekonomi. Bagi masyarakat pesisir barat Lampung, kehidupan manusia harus selaras (bijaksana) terhadap hutan-lahan.
Referensi:
Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung, USUL PERSYARATAN PEMBENTUKAN KABUPATEN PESISIR BARAT PROPINSI LAMPUNG, 2005.
Imron, Ali, Perubahan Pola Perkawinan Bujujokh dan Semenda Pada Masyarakat Saibatin Lampung Barat, Tesis Program Pascasarjana UGM, 2001.

Daeng J Hans, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis,  Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2000.

Dove, R Machael, Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, Yogyakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia, 1975.

Kuntowijoyo,    Budaya dan Masyarakat,   Yogyakarta:  PT. Tiara Wacana, 1999.

Lahajir, Etnologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang, Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Laksono, P.M.(et)., Perempuan di Hutan Mangrove:Kearifan Ekologi Masyarakat Papua, Yogyakarta, Pusat Studi Asia Pasifik UGM kerjasama Galang Pess, 2000.

Hahiwang Harhong Nunas yaitu sebuah syair tradisi lisan mengenai Haghong= arang/cikal bakal, Nunas= tunas/generasi keturunan dari Penggawa Lima, sebagai Primus Interparis dan leluhur ulun Krui di Lampung Barat. 

Santoso, Harianto, F., Profil Daerah Kabupaten dan Kota, Jakarta, 2001.

Spradey P. James, Metode Etnografi, Terj. The Etnographic Interview,  Misbah Zulfa Elizabeth, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1997.

Zoetmulder,  P.J.,  Cultuur, Oost and West,     Amsterdam: P.J. van der Peet, 1951.